J A M

Jumat, 19 September 2008

LOMBA PERAHU

Setiap tahun semua nelayan merayakan tradisi tahunan di kampungnya. Itu merupakan ungkapan rasa syukur karena hasil tangkapan mereka membaik dari waktu ke waktu. Seperti biasa tahun ini terdapat berbagai perlombaan. Lomba untuk orang dewasa dan anak-anak.
Untuk anak-anak, diadakan perlombaan membuat perahu mainan. Ada yang memakai pelepah pisang, batang pohon kecil. Bahkan ada yang menggunakan sandal karet bekas.
Moro dan Kara juga ikut berlomba. " Kamu mau buat pakai apa Ro ? ", tanya Kara.
" Entahlah, bisa gak ya pake botol aqua bekas ? ".
" Eh, bagus juga tuh ide mu ! ", puji Kara.
" Tapi apa mungkin ? ", Moro ragu sendiri.
" Yuk kita coba, siapa tahu bisa ! ", ajak Kara. Mereka memakai botol aqua bekas ukuran 1500 ml. Setelah dibelah, bagian tengah diisi dengan bubur kertas. Lalu dibuat tiang untuk layar dari ranting yang lurus. Layarnya memakai daun pisang yang kering. " Wah, bagus juga kapalmu Ro! ".
" Ayo, sekarang kita coba di air ", kata Moro riang. Mulanya bisa, kapal-kapalan itu bergerak pelan. Tapi lama-kelamaan oleng lalu tenggelam. Moro dan Kara kecewa, perahu itu tidak bisa berlayar. " Jangan putus asa, kita coba lagi ", kata Kara.
" Tapi bagaimana caranya Ra, pasti gagal lagi ". Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing. Keesokan hari setelah pulang sekolah mereka mencoba lagi. Belahan botol aqua bekas dibuat lebih rapi dan agak kecil ukurannya. Bubur kertas diisi secukupnya saja, hanya untuk tiang layar. " Lihat Ro, perahumu lebih bagus sekarang ".
" Iya Ra, tapi itu perahu kita bersama ", Moro tersenyum senang. Keduanya tertawa-tawa dan bersorak gembira. Tiba-tiba .....
" Hei Ro, lihatlah layarnya robek ! ", kata Kara sambil menunjuk.
" Sayang ya, padahal sudah bisa berlayar ". Kapal mainan itu tenggelam setelah oleng kesana-kemari tanpa arah. Mungkin karena layarnya robek jadi tidak terkendali jalannya. Moro dan Kara tetap tidak putus asa. Keduanya mencoba dan tetap terus mencoba. Hingga akhirnya, " Ro, aku diberi tahu teman. Kata Dia layarnya dibuat dari kulit jagung saja. Selain kuat juga tidak gampang sobek ".
" Betul nih ? ", tanya Moro ragu. " Ya ayo kita coba. Kulit jagung dikeringkan dulu ", jawab Kara.
" Kalau gagal kita coba lagi, pasti ada jalan keluarnya ! ". Moro senang berteman dengan Kara yang suka membantu dan tidak mudah putus asa. Ternyata benar. Perahu mainan mereka berhasil. Walau dicoba berulang-ulang tidak tenggelam atau oleng. Bahkan bisa berlayar lurus dan cukup jauh. Kemudian dirapikan lagi dengan diberi beberapa hiasan.
" Tidak kalah dengan perahu mainan yang mahal kan ? ".
" Betul juga kamu Ra ! ".
Pada waktu perlombaan, perahu buatan mereka meraih juara dua. Moro tampak kecewa dan sedih sekali.
" Bagaimana tidak kecewa ? ", sungut Moro. Alasannya, sudah bersusah payah, bahan-bahan habis tidak sedikit. Selain itu, membuatnya berhari-hari dengan percobaan pula.
" Lantas apa yang kamu harapkan ? ", tanya Kara ingin tahu.
" Ya paling tidak juara satu-lah ! ", katanya masih dengan nada suara kesal.
" Aku benar-benar puas dan lega ", kata Moro lagi serius.
Kara hanya tersenyum-senyum saja. Walau sudah berusaha keras, belum tentu menang. Peserta lain juga ingin jadi juara pertama. " Terimalah dengan lapang dada ".
" Juara dua juga tidak buruk kok ", Kara meyakinkan Moro. " Anggap saja pengalaman, supaya tahun depan lebih baik lagi ! ", Kara terus menghibur dan membesarkan hati sahabatnya.
" Baiklah, aku percaya padamu ", kata Moro.
" Nah begitu dong. Itu baru Moro namanya ".
Sebentar saja mereka sudah melupakan semua, malah keduanya asyik bermain dengan perahu dari botol aqua bekas. Sekarang sudah jadi dua, ternyata diam-diam Kara juga membuat sendiri.
Terdengar celoteh dan tawa riang Moro dan Kara.


Diatas, adalah salah satu cerpenku yang juga sudah dimuat pada majalah rohani umat Katholik " HIDUP", di rubrik khusus anak, pada tgl 15 Februari 2004, di edisi No 07 Tahun ke-58.
Aku juga tidak menyangka bahwa cerpen itu akan dimuat, justru di majalah inilah cerpen ku paling banyak dimuat. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa ?
Tapi kalau ku perhatikan ternyata setiap majalah anak atau harian yang ada rubrik anak, mempunyai ciri tersendiri akan cerpen yang layak terbit untuk ukuran redaksinya. Memang analisaku ini masih bersifat subyektif. Jadi sampai sekarang aku tetap berkarya untuk cerpen anak dari ide yang tidak ada habisnya. Bahkan ku mulai meningkat ke cerpen remaja, tentu saja cerpen anak sebagai basic tidak akan aku tinggalkan.
Jika karya ku ber-themakan cerita binatang atau fabel, maka ku kirimkan ke redaksi yang lebih sering menerbitkan cerpen seperti itu. Andai cerpen ku berbau iptek, aku sudah tahu, redaksi mana yang paling tepat untuk bisa menerima cerpen ku dan syukur-syukur mau menerbitkan.
Menulis dan menulis buat ku selain hobby, kini bisa kukatakan sebagai pekerjaanku dalam bentuk lain.
Siapa saja bisa menulis, hanya tinggal memacu minatnya untuk menulis, selebihnya bisa diupayakan.
Ayo ..... siapa menyusul, jangan ragu untuk menulis apapun, tuangkan idemu dalam bentuk tulisan, siapa tahu berguna bagi sesama ......

Tidak ada komentar:

Maukah Memberi Saran ?